Pada 21 Juni yang lalu hingga beberapa minggu sesudahnya bagi Anda yang sempat menonton hasil restorasi dari film jadul Lewat Djam Malam
di Plaza Senayan 21, maka Anda beruntung bisa menyaksikan mahakarya
dari Usmar Ismail yang aslinya dirilis pada 1954. Sutradara, penulis
skenario, dan produser kelahiran Sumatra Barat, 20 Maret 1921 ini,
dipandang telah meletakkan dasar yang kuat bagi kelahiran dan
perkembangan perfilman Indonesia.
Lewat Djam Malam bukan saja karya,
tetapi mahakarya dari Usmar Ismail. Film itu bercerita tentang mantan
pejuang bernama Iskandar yang turun gunung-gunung kira-kira awal 1950 ke
kota Bandung. Dia menemui kekasihnya Nourma dan diminta mencari
pekerjaan oleh mertuanya. Pada masa itu memasyarakatkan kembali bekas
pejuang adalah problem besar yang harus dihadapi. Bukan hanya satu atau
dua orang tetapi ribuan orang.
Ternyata Iskandar bukan hanya tidak bisa
menyesuaikan diri dengan zaman tetapi juga bertindak emosional dan
gegabah. Terutama ketika ia tahu bahwa mantan komandannya menjadi kaya
karena setelah tenaganya dulu untuk membunuh seorang pengungsi dari
Jakarta. Di sini Usmar melontarkan kritik sosial yang tajam pada zaman
itu, orang yang lurus berjuang dan emmathui perintah kerap terbuang.
Namun ada mantan pejuang bisa menjadi kaya, punya mobil dan rumah mewah.
Bukankan kritik itu masih relevan untuk saat sekarang ketika menyoroti mantan aktifis 1966 bahkan 1998?
Usmar Ismail membawakan semangat zamannya. Karyanya tentang Darah dan Do’a (judul lainnya adalah Long March)
(1950) berkisah tentang Long March Siliwangi kembali ke Jawa barat
dari Yogyakarta setelah Belanda melanggar perjanjian Renville. Bukan hal
heroik diceritakan, tetapi sisi kemanusiaan seoarng perwira pertama. Enam Djam di Djogja
berkisah tentang serangan umum 1 Maret 1949. Film ini bukan tokoh
elite ditonjolkan, tetapi sisi rakyat atau tentara yang berpangkat
rendah.
Usmar Ismail memang mahir mengangkat tema-tema kemanusiaan ke layar lebar. Dosa tak Berampun (1951)
berkisah tentang seorang ayah yang tega meninggalkan rumahnya karena
seorang wanita muda. Isteri dan anak tertuanya harus banting tulang.
Ketika jatuh miskin, si ayah kembali dan menghadapi sikap permusuhan
anak sulungnya. Bukankah tema seperti ini juga menjadi inspirasi bagi
beberapa film Indonesia puluhan tahun kemudian? 1
Tiga Dara adalah karya Usmar lain
yang brilian. Film yang dirlis pada 1965 mengangkat kembali perfilman
Indonesia yang waktu itu nyaris terpuruk karena tergusur oleh film
Amerika dan India. Drama musikal ini bercerita soal tiga dara yang
diasuh nenek dan ayahnya, karena sang ibu meninggal. Karena ada amanat
almarhumah ibu mereka , sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si
sulung.
Sayangnya calon suami itulah yang kemudian
menjadi rebutan dua dari tiga dara, di mana si bungsu Neni berkomplotan
untuk menyelesaikan konflik.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di HIS
Batusangkar, Sumatera Barat, Anak bungsu dari enam bersaudara
melanjutkan belajar ke MULO-B (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di
Padang tahun 1935-1939. Di sinilah Usmar Ismail mulai berkenalan dengan
film dengan menjadi pecandu film-film yang diputar di bioskop Pondok,
Padang.
Alumnus MULO 1941 ini kemudian melanjutkan sekolahnya ke Yogyakarta. Ia masuk AMS-A II (Algemene Middelbare School)
bagian A jurusan Klasik Barat. Pada 1953 Usmar Ismail mendapatkan
beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di
Universitas California Los Angles (UCLA).
Pada masa pendudukan Jepang Usmar Ismail
pernah mendirikan sandiwara amatir “Maya” pada tahun 1944 bersama
kakaknya Dr. Abu Hanifah dan sahabatnya Rosihan Anwar. Kelompok ini
secara teratur mementaskan lakon di Gedung Komidi (sekarang Gedung
Kesenian Jakarta). Kelak dari kelompok ini cikal bakal teater modern di
Indonesia.
Pada masa revolusi Usmar menjadi tentara
dengan pangkat Mayor. Tugas domisilinya di pusat pemerintahaan RI,
Yogyakarta. Di situ dia memimpin harian Patriot dan majalah Arena,
sebagai gelanggang bagi seniman muda, sembari mengetuai Badan
Musyawarah Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara dan PWI
(Persatuan Wartawan Indonesia). Saat itu ia sudah mulai jelas
perhatiannya pada film. Dengan para seniman ex anggota Maya dia
selenggarakan diskusi-diskusi mengenai film.
Usmar Ismail pernah bertandang ke Amerika
Serikat pada 1950-an dan setelah pulang ini membuat kariernya di bidang
film makin menanjak. Film - film yang disutradarainya antara lain: Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955), Tiga Dara (1956) yang mendapat sambutan besar di kalangan penonton. Bahkan Tamu Agung mendapat perhargaan sebagai film komedi terbaik dari Festival Film Asia sedangkan Lewat Djam Malam mendapat perhargaan sebagai film terbaik FPA pertama tahun 1955, dengan Usmar Ismail sebagai produsernya.
Sepanjang karirnya Usmar Ismail telah
menghasilkan 25 judul film, bersama H Djamaludin Malik mempelopori
terbentuknya Federasi Produser Asia (Federation of Motion Picture
Producers in Asia) di Manila. Usmar Ismail juga mempelopori diadakannya
Festival Film Indonesia yang pertama kali diadakan tanggal 30 Maret - 5
April 1955, di mana pemenang dari Festival Film Indonesia ini akan akan
memperebutkan FPA. Usmar Ismail wafat di Jakarta, 2 Januari 1971.
Beberapa Tulisan Usmar Ismail Tentang Pefilman Dunia dan indonesia
Histoire est Repite (sejarah berulang)
atau Usmar Ismail punya analisis tajam yang jauh ke depan. Saya
beruntung mendapatkan sejumlah tulisan Usmar Ismail pada 1953 di harian Pikiran Rakjat.
Salah satu di antaranya tulisan dari Usmar Ismail yang menganalisis
film Indonesia ketika Republik masih muda yang membuat saya teringat
kebangkitan film Indonesia kedua pada 2000-an. Polanya seperti sebangun
film yang punya “cita-cita” atau bahasa yang sekarang harus bertanding
dengan film yang hanya semata-mata untuk komersial (kebanyakan dengan
budget yang rendah).
Pada 1950-an menurut Usmar Ismail orang
Indonesia sebagai pengusaha film benar-benar seperti orang baru. Mereka
memulai usaha ini semuanya sebagai orang baru sejak penyerahan
kedaulatan. Niat sineas Indonesia waktu itu sekurang-kurangnya
menyaingi pengusaha Tionghoa yang berpengalaman selama puluhan tahun dan
praktis menguasai produksi film dalam negeri.
Mereka ingin film Indonesia disalurkan
kenasionalannya dan dilepaskan dari sifat-sifat yang semata-mata hanya
ditujukan untuk menghiburan dan cari duit. Para sineas Indonesia
rupanya ingin membuat film seperti The Long March (Judul lain adalah Darah dan Doa)
yang dibuat dengan biaya yang mahal pada waktu itu. Sementara
pengusaha-pengusaha Tionghoa memperhitungkan laba-rugi untuk membuat
film separuh biaya pembuatan film The Long March sekalipun.
Di sisi lain sukses komerasial film Djauh di Mata dan Bengawan Solo
telah memulai perlombaan produksi film sesudah perang. Sesudah perang
perusahaan-perusahan film tumbuh sebagai cendawan. Keinginan untuk
membuat film kebanyakan didorong oleh nafsu untuk menjadi lekas kaya
dan lekas dibutakan oleh sukses film-film Indonesia pertama.
Dalam tulisannya yang berjudul “3 Tahun Film Indonesia: Diperlukan dengan Segera Politik Film Jang Aktif” dalam Pikiran Rakjat
3 Januari 1953 Usmar menyuarakan bahwa perindustrian film sebetulnya
mempunyai tanah yang subur di Indonesia. Namun banyak kendala yang
dihadapi. Di antaranya ialah kekuarangan penanaman modal ke dalam
industri ini. Kalau kegentaran swasta untuk memasukan modalnya dapat
difahami, namun ketakutan itu juga menjalar pada instansi pemerintah
yang merupakan sumber harapan satu-satunya bagi pengusaha Indonesia.
Usmar mengingatkanInggris yang mempunyai
perindustrian film yang sama tuanya denagn Hollywood masih dilindungi
pemerintahnya. Pemerintah harus obyektif menyelidiki masalah film.
Peraturan yang dikeluarkan pemerintah pada saat itu hanya memperkeras
sensor, suatu tindakan yang negatif. Sensor bukan hal yang terpenting
yang harus diselesaikan.
Pengamatan Usmar Ismail pada 1950-an orang
Indonesia masih banyak yang belum tahu apa yang disebut produser.
Produser film Hollywood seperti Zukor, Fox dan Lasky secara aktif ikut
dalam seluruh bagian pembuatan sebuah film. Mereka mencari uang,
menyewa kamera dan studio, (ikut) menulis rangka cerita hingga menjadi
penjual dan melaksanakan distribusi film.
Sineas Holywood seperti Jesse Lasky berkata
bahwa produser menjadi nabi, jenderal, diplomat dan pendamai, penyayang
tetapi tidak royal. Namun di Hollywood ada golongan produser yang menimbulkan pertentangan, karena mau menjqdi ditaktor, merusak film
dengan pengetahuan mereka yang sempit dan tidak mempunyai kehormatan
terhadap film sebagai medium kesenian dan terhadap pencipta yang bekerja
di bawah mereka (Usmar Ismail, “Inilah Hollywood: Tjerita tentang
Djenderal Nabi dan Diplomat”, dalam Pikiran Rakjat, 5 Maret 1953).
Dalam tulisan lain yang berjudul “Tentang Para Maharadja Hollywood: Rebutan kekuasan Jang Tak Kenal Ampun” dalam Pikiran Rakjat,
9 Januari 1953 Usmar Ismail menganalisis persaingan keras antar “Big
Five” yaitu Metro- Goldwyn Mayer-Studios (MGM), Twentieth Century Fox,
Paramoutn Pictures Inc, Warner Bros pictures dan Raio Keith Orpheum
(RKO) juga the Little Three (Universal Corp, Columbia Pictures Corp dan
United Artist Corp).
Usmar menceritakan kesukarannya bertemy
Frank Y Freeman Vice President Paramount Pictures sekaligus Kepala
Paramount Studio di Hollywood.
“Saya bicara dengan dia di dalam
kantornja jang sama besarnja dengan 4 kali kantor Om Monanutu Meneteri
Penerangan (dalam Kabinet Wilopo) . Meja tulisnya 2 x 3 meter. Dia heran
Usmar ismail adalah Presiden kongsi film di Indonesia. Film Indonesia
diperintah oleh orang-orang muda”
Dalam kunjungannya Usmar mengungkapkan bahwa
Hollwydood masa itu sedang cemas denagn kebangkitan industri televisi.
Peraturan import terhadap film-film AS yang dijalankan berbagai negara
asing seperti Inggris, Meksiko, Prancis dan Italia menganggu mereka.
Mereka juga protes terhadap kenaikan pajak.
Fenomena cinta lokasi dan gosip percintaan
antara para artis dilakukan studio-studio film di Hollywood pada 1930-an
hingga 1950-an sebagai publikasi gratis film-nya. Usmar Ismail dalam
tulisannya “Inilah Hollywood: Tjerita tentang Amor di Kota Film” dalam Pikiran Rakjat
10 Februari 1953 mengungkapkan bahwa R.K.O (Radio-Keith-Orpheum
Pictures) pernah menghembuskan kabar adanya roman antara pemain Farley
Granger dan Shelley Winter karena kebetulan mereka main dalam satu film.
Studio M.G.M (Metro-Goldwyn-Mayer Studios) juga menggunakan kisah
percintaan Lana Turner dan Fernando Lamas untuk publisitas film Merry Widow.
Menurut catatan Usmar kebanyakan berita-berita tentang para bintang film yang dimuat dalam berpuluh-puluh fan magazine, seperti Photoplay, Modern Screen, Silver Screen(pada
masa 1950-an) adalah berita-berita berdasarkan kejadian yang disengaja
disandiwarakan oleh studio-studio. Para pemeran laki-laki disuruh
membwa pemain-pemain perempuan ke berbagai pesta atau ninght club.
Kemudian studio yang bersangkutan menelepon para wartawan tentang
kejadian istimewa ini yang datang berduyun-duyun lengkap dengan
alat-alat pemotret. Semua ongkos-ongkos makan-minum-hiburan kedua pemain
yang di-romancekan (istilah Usmar) menjadi tanggungan studio.
Selain mengamati film-film Hollywood, Usmar
rupanya juga mengamati perfilman Jepang. Dalam tulisannya yang berjudul
“Industri Film Djepang Tangan Lebih dipertjaja dari Mesin” dalam Pikiran Rakjat, 25 September 1953, dia memberikan apresiasi terhadap film Ha Ha No Uta (Lagu Ibu), karena cara pemotretan yang liris dari suatu cerita dramatis dan Rashomon sebuah film sesudah perang.
Setiap tahun pada 1950 Jepang mampu memproduksi
230 buah film yang membuatnya menjadi tiga negara di dunia yang paling
banyak memproduksi film bioskop, sesudah AS dan India. Film-film Jepang
dalam setahun ditonton 750 juta penonton dan menghasilkan 35 milyar
yen. Yang menarik Jepang menggunakan perlaatan buatan sendiri (tangan)
daripada mesin modern. Jepang juga pada 1950-an membuat film yang anti
AS yaitu Battleship Yamato.
0 komentar:
Posting Komentar