Mr. Assaat (lahir di Dusun Pincuran Landai, Kanagarian Kubang Putih,
Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, 18 September 1904 รข€“ meninggal di
Jakarta, 16 Juni 1976 pada umur 71 tahun) adalah tokoh pejuang
Indonesia, pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa
pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta yang merupakan bagian dari
Republik Indonesia Serikat (RIS).
Latar belakang dan keluarga
Assaat
belajar di sekolah agama “Adabiah” dan MULO Padang, selanjutnya ke
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen Jakarta. Merasa tidak cocok
menjadi seorang dokter, dia keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS
(SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melajutkan studinya ke Rechts Hoge
School (Sekolah Hakim Tinggi) juga di Jakarta. Mr. Assaat menikah
dengan Roesiah, dari Sungai Pua di Rumah Gadang Kapalo Koto 12 Juni
1949, Dikaruniai dua orang putera dan seorang puteri.
Pendidikan dan praktik advokat
Ketika menjadi mahasiswa RHS, ia
memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, dalam gerakan pemuda dan
politik. Saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda “Jong Sumatranen
Bond”. Karier politiknya makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus
Besar “Perhimpunan Pemuda Indonesia”. Ketika Perhimpunan Pemuda
Indonesia mempersatukan diri dalam “Indonesia Muda”, ia terpilih menjadi
Bendahara Komisaris Besar ” Indonesia Muda”.
Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke dalam politik
“Partai Indonesia” atau Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung
dengan pemimpin Partindo seperti: Adenan Kapau Gani, Adam Malik, Amir
Sjarifoeddin dll. Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan,
diketahui oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan
walau sudah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas
perlakuan itu, dia memutuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda.
Di Belanda dia memperoleh gelar “Meester in de Rechten” (Mr) atau
Sarjana Hukum.
Sebagai seorang non-kooperator terhadap penjajahan Belanda,
sekembalinya ke tanah air di tahun 1939 Mr. Assaat berpraktik sebagai
advokat hingga masuknya Jepang di tahun 1942. Di zaman Jepang beliau
diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
KNIP dan RIS
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan Badan
Pekerjanya (BP-KNIP) pada masa revolusi dua kali mengadakah hijrah
Karena situasi dianggap terlalu riskan, dan agar Revolusi Indonesia
tetap berjalan. Berkedudukan awal di Jakarta, dengan tempat bersidang di
bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian Jakarta) di Pasar Baru dan di
gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Sekitar tahun 1945
KNIP dipindahkan ke Yogyakarta. Kemudian pada tahun itu pula, pindah ke
Purworejo, Jawa Tengah. Sampai saat situasi Purworejo dianggap kurang
aman untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta. Pada saat itu Mr.
Assaat duduk sebagai anggota sekretariatnya. Tidak lama kemudian dia
ditunjuk menjadi ketua KNIP dan BP-KNIP.
Tahun 1946-1949 (Desember) ia menjadi Ketua BP-KNIP (Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat). Ia terpilih menjadi ketua KNIP
terakhir. Hingga KNIP dibubarkan, kemudian ia ditugasi sebagai Penjabat
Presiden RI di kota perjuangan di Yogyakarta.
Diasingkan
19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II.
Mr. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta serta
pemimpin Republik lainnya, kemudian di asingkan di Manumbing di Pulau
Bangka.
Acting Presiden Republik Indonesia
Desember 1949 – Agustus 1950,
Mr.Asaat menjadi Acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta.
Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai
Penjabat Presiden pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya
selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950,
negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI. Saat
menjadi Acting Presiden RI, Assaat menandatangani statuta pendirian
Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.
Setelah pindah ke Jakarta, Mr. Assaat menjadi anggota parlemen
(DPR-RI), hinga duduk dalam Kabinet Natsir menjadi Menteri Dalam Negeri
September 1950 sampai Maret 1951. Kabinet Natsir bubar, ia kembali
menjadi anggota Parlemen.
Pada tahun 1955 ia menjabat sebagai formatur Kabinet bersama Soekiman
Wirjosandjojo dan Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana
Menteri. Karena waktu itu terjadi ketidak puasan daerah terhadap beleid
(kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah mendukung Bung Hatta,
tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena secara
formal, ditolak oleh Parlemen.
Pertentangan dengan Pemerintah Pusat
Ketika Presiden Soekarno
menjalankan Demokrasi Terpimpin , Assaat menentangnya. Secara pribadi
Bung Karno tetap dihormatinya, yang ditentangnya adalah politik Bung
Karno yang seolah-olah condong ke sayap kiri Partai Komunis Indonesia.
Mr.
Assaat merasa terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah kediktatoran
terselubung, ia selalu diawasi oleh intel serta PKI. Dengan berpura-pura
“akan berbelanja” ia bersama keluarganya melarikan diri dengan
berturut-turut naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana
dilanjutkan menuju Stasion Tanah Abang.
Mr. Assaat beserta keluarga
berhasil menyeberang ke Sumatera. Berdiam beberapa hari di Palembang.
Ketika itu di Sumatra Selatan sudah terbentuk “Dewan Gajah” yang
dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatra Barat Letkol Ahmad Husein
membentuk “Dewan Banteng”. Kol. Simbolon mendirikan “Dewan Gajah” di
Sumatera Utara, sementara Kol. Sumual membangun “Dewan Manguni” di
Sulawesi.
Dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang dipengaruhi oleh
PKI. Terbentuklah PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
Assaat yang ketika itu baru tiba di Sumatera Barat bergabung dengan
PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera, setelah Pemerintah
Pusat menggempur kekuatan PRRI.
Akhir Hayat, Upacara Kebesaran
Ketika berada di hutan-hutan
Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Mr. Assaat sudah merasa dirinya
sering terserang sakit. Dia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan
menjalani “hidup” di dalam penjara “Demokrasi Terpimpin” selama 4 tahun
1962-1966. Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya
Orde Baru.
Pada tanggal 16 Juni 1976, Mr. Assaat meninggal dirumahnya
yang sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Mr. Assaat gelar Datuk
Mudo diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan
semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
Pribadi
Bagi orang-orang yang mengenalnya Asaat adalah pribadi yang sederhana.
Ketika
menjadi Penjabat Presiden, menurut pers, beliau tidak mau dipanggil
Paduka Yang Mulia, lebih memilih panggilan Saudara Acting Presiden. yang
menjadi agak canggung pada waktu itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil
saja saya “Bung Presiden”.
Assaat bukan ahli pidato, dia tidak suka
banyak bicara, tetapi segala pekerjaan dapat diselesaikannya dengan
baik, semua rahasia negara dipegang teguh.
Beliau taat melaksanakan
ibadah, tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Dan adalah pemimpin
yang sangat menghargai waktu, seperti juga Bung Hatta.
0 komentar:
Posting Komentar